THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES ?

Senin, 17 Agustus 2009

Benjamin Franklin 1706-1790

Prologue
Benjamin Franklin ranks among the most recognizable leaders of the American Revolution. His signature appears on the Declaration of Independence, the Treaty of Paris ending the American Revolution in 1783, and the United States Constitution. It is hard to imagine the American Revolution without Franklin; it is harder still to imagine how it could have succeeded without him. After spending much of the war abroad in France, first to negotiate the crucial French alliance and then the peace terms with Great Britain, Franklin returned to Pennsylvania in 1785. Despite the fact that he was 79 years old, ailing and worn out, he was elected president of the Executive Council of Pennsylvania within weeks of his arrival.
A Dangerous Insurrection
Franklin came home to difficult times. Pennsylvania and the other new republics of the United States were struggling to remain solvent and pay their large war debts, including millions of dollars in loans Franklin had negotiated from France. Pennsylvania's own war debt included over half a million dollars in interest-bearing certificates originally issued in lieu of cash to pay its soldiers in the Continental Army. Political tensions ran high. Controversy swirled around attempts by a conservative faction to reform Pennsylvania's constitution, which Franklin had helped draft in 1776. This group wanted to replace the state's unicameral legislature with an upper and lower house, and to abandon the 12-member Executive Council in favor of a single governor. Others insisted that these attempts to "reform" the 1776 constitution were part of a thinly-disguised plot hatched by propertied elites to wrest control of the government from the people of Pennsylvania. Franklin was elected to the Council in hopes that he could engineer a compromise between those supporting the current constitution and their opponents. The turbulent conditions of Pennsylvania politics and the role he was expected to play dismayed Franklin. He confessed to Thomas Paine that it was a "Business more troublesome than any I have yet quitted." This was a gloomy assessment indeed, considering the trials and challenges Franklin had faced during his years abroad during the darkest days of the Revolution.
The fiscal and political crises in Pennsylvania may have made Franklin especially sympathetic to the beleaguered Massachusetts government in 1786-87. News of the government militia's success in the bloody encounter at the United States Arsenal prompted a relieved President Franklin to congratulate Governor James Bowdoin on "the happy success" of Massachusetts' "wise and vigorous measures for suppression of that dangerous insurrection." Interestingly, Franklin singled out the Massachusetts Constitution for special praise although it differed in key respects from the Pennsylvania Constitution he had helped create. Even more interestingly, some Massachusetts regulators sought to reform their constitution by eliminating the upper house, or senate, which would make it resemble more closely the Pennsylvania Constitution. Perhaps Franklin had reconsidered the virtues of a bicameral legislature and a single executive in the light of his recent experiences as the leader of the Executive Council. He heaped praise on the Massachusetts Constitution of 1780. It was, in Franklin's opinion, "one of the best in the union, perhaps I might say, in the world."Franklin had no sympathy for "the mad attempts to overthrow" the Massachusetts Constitution or "the wickedness and ignorance of a few, who, while they enjoy it, are insensible of its excellence."Franklin assured Governor Bowdoin that the Massachusetts proclamation offering a reward for the leaders of the insurrection had "been immediately printed in our newspapers." In fact, the government of Pennsylvania had increased the rewards:
the matter being laid before the Council and Assembly, it was thought fit to make an addition to the rewards your government had offered.
Accordingly, on March 10, 1787, the General Assembly and Council of Pennsylvania issued their own proclamation offering an additional £100 for the capture of Daniel Shays and £50 more apiece for the capture of Luke Day and other "proclaimed rebels." Signed by Franklin, the Pennsylvania proclamation sternly ordered all judges, justices, constables and sheriffs to apprehend not only the Massachusetts rebels but also "their aiders abettors and comforters, and every of them, so that they may be dealt with according to law."

Galileo Galilei




Galileo Galilei adalah nama yang tegak menjulang dalam dalam sejarah ilmu pengetahuan. Albert Einstein menyebutnya sebagai Bapak Fisika Modern, bahkan Sains Modern, sebagaimana yang kita kenal sekarang. Begitu menjulang nama ini, sehingga sejak 18 Oktober 1989 ia melambung melewati atmosfir bumi dan masuk ke keluasan antariksa, menjadi nama yang setingkat dewa-dewa Yunani Purba yang menguasai kosmos: nama Galileo menempel pada pesawat angkasa luar milik NASA yang menjadi penyelidik langsung Planet Yupiter dan satelit-satelitnya.

Hampir 400 tahun yang lalu, Galileo Galilei adalah nama yang miring, bagaikan Menara Pisa. Paling tidak, demikianlah yang terlihat di mata sejumlah pejabat tinggi pada Dinas Suci Inkuisisi Gereja Katolik. Otoritas tertinggi Gereja Katolik bahkan ingin meruntuhkan nama yang miring itu, menghapuskannya dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Semua ini terjadi karena ilmuwan yang juga menulis puisi dan kritik sastra ini menyuarakan sebuah pandangan yang waktu itu dianggap sebagai sebuah kekafiran besar yang akan merusak aqidah ummat: pandangan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta, dan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya.
Pandangan kosmologis “kafir” yang dikenal juga sebagai sistem heliosentris itu, sudah dipikirkan orang lebih dari dua ribu tahun yang silam dan diajukan antara lain oleh Aristarchus dari Samos (kl 310-230 SM). Karena sejumlah hal, khususnya ajaran Aristoteles dan Kitab Suci yang mengunggulkan sistem Geosentris yang dirumuskan Ptolemeus dalam buku terkenalnya, Almagest, sistem heliosentris ini hilang dari dunia pengetahuan manusia. Sistem kosmos yang berpusat surya ini, kita tahu, muncul kembali di Eropa Renaisans lewat pemikiran biarawan Nikolaus Kopernikus (1473-1543). Sistem ini ia sajikan dalam kitab yang ia persembahkan untuk Paus Paulus III, De Revolutionibus Orbium Coelestium (”On the Revolutions of the Celestial Orbs”), yang terbit di Nuremberg pada tahun terakhir kehidupannya, 1543. Kelak pandangan ini dikukuhkan oleh Johannes Kepler (1571-1630) yang mengajukan sejumlah Hukum Gerak dan Orbit benda-benda langit. Galileo mencoba menandaskan kebenaran sistem heliosentris dengan menggunakan teorinya sendiri yang ia anggap lebih kokoh.
Dalam sepucuk surat bertanggal 4 April 1597, Galileo mengaku bahwa sejak beberapa tahun silam ia sudah tahu betapa bumi bergerak mengitari matahari, bahwa sistem Kopernikan “lebih mendekati kenyataan daripada pandangan lain yang dikemukakan Aristoteles dan Ptolomeus.” Teori Heliosentris Kopernikus memberi penjelasan sederhana sekaligus anggun atas gerak-gerak planet yang selama itu membingungkan kaum cerdik cendekia. Sambil menata ulang susunan planet-planet yang sudah dikenal saat itu, sistem heliosentris menawarkan diri sebagai sistem yang lebih masuk akal dibanding dengan sistem tradisional geosentris. Meski demikian, ada beberapa hal yang membuat Kopernikus dan para pendukung teori Heliosentris seperti Galileo menangguhkan opini mereka.
***
Selain menggugat pandangan religius klasik atas posisi manusia di alam semesta yang menganggap bahwa bumi adalah pusat jagat raya, dan Vatikan adalah pusat dunia, sistem heliosentris tampak absurd dilihat dari sudut pandang pengetahuan fisika yang dominan waktu itu. Sistem ini juga menentang pengalaman indrawi manusia yang dengan mata telanjang melihat matahari mengedari bumi dengan terbit di timur dan surut di barat.
Sampai pada persimpangan abad 16 dan 17, para pemikir tumbuh dan terdidik dalam pemikiran Aristotelian, yang dengan tegas membagi ranah langit dan bumi, ranah surgawi dan duniawi. Sejajar dengan pembagian kosmis itu – oposisi biner dimana satu anasir lebih mulia dari anasir lainnya – bertaut dan berkelindanlah oposisi langit dan bumi, surgawi dan duniawi itu, dengan oposisi perfeksi dan korupsi, Kenaikan dan Kejatuhan. Keempat oposisi biner ini secara organis bersatu membentuk sebuah kerangka kosmo-antropologis yang bisa menampung aspirasi religius. Dalam paham fisika Aristoteles juga, benda-benda selalu bergerak menuju tempat mereka yang alami. Batu jatuh karena tempat alami benda-benda berbobot adalah pada pusat alam semesta. Itu pula sebabnya maka bumi yang berat ini ada di tempatnya, yakni di pusat alam semesta itu.
Pandangan dunia fisika Aristotelian ini dengan jelas memberi sebuah bangunan kognitif yang kukuh dan, yang paling penting: sangat mudah dicerna. Selain menautkan ranah langit dan bumi, menyatukan kegiatan ilahiah dan kehidupan manusiawi, bangunan kognitif ini juga memberi tempat yang istimewa dan mantap bagi para penganutnya, sekaligus menyingkirkan kaum yang asing, kaum anti-Vatikan misalnya, dari pusat dunia. Ringkasnya, bangunan kognitif ini tampak berhasil mengorganisasikan banyak kenyataan yang tampak tak berhubungan sekaligus memberi perasaan menyenangkan bagi para penganut dan pendukungnya. Menerima sistem Kopernikan bukan saja berarti menampik fisika Aristoteles dan membuang sistem geosentris Ptolomeus. Itu juga berarti meruntuhkan rasa mantap dan nyaman yang selama ini ada, sekaligus membantah Kitab Suci yang dengan tegas menyebutkan bahwa bumi dipasak di tempatnya. Oh, Tuhanku, Kau-lah yang Maha Besar… Kau pancangkan bumi pada fondasinya, tiada bergerak untuk selamanya. (Mazmur 103: 1,5).
***
Jaman ketika sistem heliosentris mulai menunjukkan kekuatannya adalah jaman ketika Gereja Katolik sedang dirongrong oleh gelombang Reformasi Protestan yang menggugat hak-hak istimewa Gereja yang sangat besar. Selain dilanda oleh Perang 30 Tahun yang merupakan puncak perlawanan kaum Protestan, Eropa juga tengah diharubiru oleh Wabah Hitam, yang konon datang untuk menghukum manusia yang aqidahnya sudah rusak. Wabah ini muncul di abad ke-14, dipicu oleh perubahan iklim yang disebut Jaman Es Kecil. Bermula sebagai sampar yang meletup di Daratan Cina, wabah ini meyebar lewat tikus-tikus yang terbawa kapal-kapal dagang sampai ke Eropa, dan menumpas hampir sepertiga penduduk Eropa hanya dalam waktu 25 tahun.
Sejak ratusan tahun yang silam, ada saja orang-orang yang sangat berkuasa dalam struktur Gereja Katolik yang yakin bahwa karena tanggung jawab mereka sangat besar dalam melindungi dan membimbing ummat, maka mereka harus punya kekuasaan dan hak-hak istimewa yang tak kalah besarnya, yang selalu harus dipertahankan, apapun akibatnya. Kekuasaan mereka yang sangat besar bukan saja terentang dalam upaya untuk mewujudkan Kerajaan Tuhan di Bumi. Kekuasaan itu juga diperlukan dalam menyelamatkan iman manusia yang – menurut sebuah naskah drama yang terkenal di abad 20 – mendapatkan kekuatan dari penampilan pohon-pohon yang menghijau yang menjadi baru setiap tahun, dari paras tanah yang tak ramah dan tak pernah puas, dari gereja kecil dan teks Injil yang mereka dengar di sana di setiap hari minggu.
Pandangan yang menyakini bahwa bumi hanyalah seonggok batu yang terus-menerus berputar dalam ruang hampa, mengitari sebuah bintang mungil kelas dua, memang adalah pandangan yang membuat hidup akan terasa ciut. Kitab Suci akan tampak salah, dan kepastian yang selama ini bisa menopang kehidupan ummat akan luluh lantak dan mereka akan tercerai-berai ketakutan. Pandangan ini bukan saja dianggap akan merongrong dasar keyakinan gereja Katolik dan merampok kebahagiaan iman orang-orang awam yang sederhana itu. Pandangan ini juga diimani akan mendatangkan berbagai bencana kiriman langit yang antara lain terwujud dalam Wabah Hitam yang mengerikan itu.
Setiap ajaran yang menganggu iman manusia dan bisa mendatangkan bencana, tentu harus dihapuskan demi kebaikan manusia sendiri. Mereka yang tidak mau bertobat, harus dibantu dengan disucikan lewat api agar mereka tak lagi menerima siksa neraka.
3 tahun setelah Galileo menuliskan suratnya yang bertanggal 4 April 1597 itu, Giordano Bruno, seorang pastor Ordo Dominikan, dibakar di Roma antara lain karena bersikeras meyakini bahwa bumi bergerak mengitari matahari, bukan diam di tempatnya sebagai pusat semesta, dan bahwa ada banyak planet seperti bumi ini yang bertebaran di alam semesta. Masing-masing pandangan itu ia sampaikan dalam dua buku Cena de le Ceneri (”The Ash Wednesday Supper”) and De l’Infinito, Universo e Mondi (”On the Infinite Universe and Worlds”), keduanya terbit pada 1584.
Penyucian Bruno di atas api unggun yang mengerikan itu, kalaupun punya pengaruh pada Galileo, namun itu menjadi aus dalam kikisan waktu. Pada 1616 ia menulis untuk Kardinal Alessadro Orsini tentang gerak pasang surut pantai yang ia anggap akan membuktikan pergerakan Bumi dan posisi sentral Matahari. Risalah itu membuat Galileo mendapat teguran. Setelah merasa menemukan sejumlah bukti dan teori pendukung yang lebih kokoh, pada 1632, Galileo menerbitkan sebuah buku berjudul Dialogo sopra i due Massimi Sistemi del Mondo (“Dialogue Concerning the Two Chief Systems of the World – Ptolemaic and Copernican”). Buku yang juga bisa disebut novel ide dengan struktur formal yang sangat sederhana itu menghadirkan percakapan antara Salviati yang membela kosmologi Kopernikan, dan Simplicio – seorang filsuf Aristotelian yang mengusung kosmologi Ptolemeian. Klimaks dialog ini adalah pemaparan Salviati bahwa Bumi bergerak mengitari matahari. Pemaparan itu didasarkan teori gerak pasang surut yang sudah ditata Galileo sejak usia 30.
***
Teori pasang surut yang dikira Galileo akan menjadi penopang paling kokoh dari sistem Heliosentrisme, adalah teori yang mengidap sejumlah kesalahan. Penjelasan yang kelak terbukti benar tentang peristiwa pasang surut ini, sebenarnya telah diajukan oleh Kepler pada 1609. Artinya, Dinas Suci Gereja Katolik sesungguhnya punya peluang lebar menyanggah Galileo dengan mengguncang teori pasang surut yang diajukan sendiri oleh penulis Dialog itu. Tetapi, yang dilakukan oleh Dinas Suci yang ngotot dengan makna literal Injil itu, bukanlah dengan tekun dan tabah menggunakan kejernihan nalar, tetapi langsung melompat memakai klaim kekuatan otoritas suci yang tak boleh dibantah. Niat baik Dinas Suci untuk melindungi iman ummat, seperti halnya banyak sekali niat baik dalam sejarah yang dengan tulus hendak membela kepentingan banyak manusia, telah mendorong gereja melakukan kesalahan yang patut disesalkan. Kesalahan yang berusia ratusan tahun itu, memang ditebus kembali oleh Gereja Katolik pada 1992, tiga dekade setelah Konsili Vatikan II, saat lembaga raksasa ini berada di bawah pimpinan Paus Johanes Paulus II.

Alexander Graham Bell




.Alexander Graham Bell (1847 – 1922) was a Scottish scientist and inventor who emigrated to Canada and later the United States. Today, Bell is widely considered as one of the foremost developers of the telephone, together with Antonio Meucci – inventor of the first telephone prototype – and Philipp Reis. In addition to Bell's work in telecommunications technology, he was responsible for important advances in aviation and hydrofoil technology. Much of his later work was done in Canada.

Thomas Alva Edison




Thomas Alva Edison (1847 – 1931) was an American inventor and businessman who developed many devices which greatly influenced life worldwide into the 21st century. Dubbed "The Wizard of Menlo Park" by a newspaper reporter, he was one of the first inventors to apply the principles of mass production to the process of invention, and can therefore be credited with the creation of the first industrial research laboratory. Some of the inventions attributed to him were not completely original but amounted to improvements of earlier inventions or were actually created by numerous employees working under his direction. Nevertheless, Edison is considered one of the most prolific inventors in history, holding 1,097 U.S. patents in his name, as well as many patents in the United Kingdom, France, and Germany. He lived to the age of 84.

Senin, 10 Agustus 2009

petir / halilintar










Kilat adalah sebuah discharge elektrostatik alam yang kuat terjadi pada saat "thunderstorm". Pelepasan muatan listrik yang tiba-tiba dibarengi dengan pemancaran cahaya tampak dan bentuk radiasi elektromagnetik lainnya. Arus listrik yang melalui saluran dischrage dengan cepat memanaskan dan mengembangkan udara menjadi sebuah plasma, menciptakan gelombang shock akustrik (geledek) di atmosfer.Riset awal kilatPada awal penyelidikan listrik melalui tabung Leyden dan peralatan lainnya, sejumlah orang (Dr. Wall, Gray, Abbé Nollet) mengusulkan 'spark' skala kecil memiliki beberapa kemiripan dengan kilat.Benjamin Franklin, yang juga menemukan lightning rod, berusaha mengetes teori ini dengan menggunakan sebuah tiang yang didirikan di Philadelphia. Selagi dia menunggu penyelesaian tiang tesebut. beberapa orang lainnya (Dalibard dan De Lors) melakukan di Marly di Perancis apa yang kemudian dikenal sebagai eksperimen Philadelphia yang Franklin usulkan di bukunya.Franklin biasanya mendapatkan kredit untuk menjadi yang pertama mengusulkan eksperimen ini, karena dia tertarik dalam cuaca. (Dia mencipatakan ilmu meteorologi.)Meskipun eksperimen dari masa Franklin menunjukkan bahwa kilat adalah sebuah discharge dari listrik statik, hanya ada sedikit peningkatan dalam teori ini selama lebih dari 150 tahun. Pendorong untuk riset baru berasal dari bidang teknik tenaga: jalur transmisi tenaga digunakan dan teknisi ingin mengetahui lebih banyak tentang kilat. Meskipun sebabnya diperdebatkan (dan masih berlanjut sampai sekarang), riset menghasilkan banyak informasi baru tentang fenomena kilat, terutama jumlah arus dan energi yang terdapat.


Petir atau halilintar merupakan gejala alam yang biasanya muncul pada musim hujan di mana di langit muncul kilatan cahaya sesaat yang menyilaukan yang beberapa saat kemudian disusul dengan suara menggelegar. Perbedaan waktu kemunculan ini disebabkan adanya perbedaan antara kecepatan suara dan kecepatan cahaya.Petir adalah gejala alam yang bisa kita analogikan dengan sebuah kapasitor raksasa, di mana lempeng pertama adalah awan (bisa lempeng negatif atau lempeng positif) dan lempeng kedua adalah bumi (dianggap netral). Seperti yang sudah diketahui kapasitor adalah sebuah komponen pasif pada rangkaian listrik yang bisa menyimpan energi sesaat (energy storage).

Petir terjadi karena ada perbedaan potensial antara awan dan bumi. Proses terjadinya muatan pada awan karena dia bergerak terus menerus secara teratur, dan selama pergerakannya dia akan berinteraksi dengan awan lainnya sehingga muatan negatif akan berkumpul pada salah satu sisi (atas atau bawah), sedangkan muatan positif berkumpul pada sisi sebaliknya. Jika perbedaan potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi pembuangan muatan negatif (elektron) dari awan ke bumi atau sebaliknya untuk mencapai kesetimbangan. Pada proses pembuangan muatan ini, media yang dilalui elektron adalah udara. Pada saat elektron mampu menembus ambang batas isolasi udara inilah terjadi ledakan suara. Petir lebih sering terjadi pada musim hujan, karena pada keadaan tersebut udara mengandung kadar air yang lebih tinggi sehingga daya isolasinya turun dan arus lebih mudah mengalir. Karena ada awan bermuatan negatif dan awan bermuatan positif, maka petir juga bisa terjadi antar awan yang berbeda muatan.
Manusia selalu mencoba untuk menjinakkan keganasan alam, salah satunya adalah bahaya sambaran petir. Ada beberapa metode untuk melindungi diri danlingkungan dari sambaran petir. Metode yang paling sederhana tapi sangat efektif adalah metode Sangkar Faraday. Yaitu dengan melindungi area yang hendak diamankan dengan melingkupinya memakai konduktor yang dihubungkan dengan pembumian.

albert einstein


Albert Einstein (March 14, 1879 – April 18, 1955) was a German-born theoretical physicist.

He is best known for his theory of relativity and specifically mass-energy equivalence, E = mc2. Einstein received the 1921 Nobel Prize in Physics "for his services to Theoretical Physics, and especially for his discovery of the law of the photoelectric effect."

Einstein's many contributions to physics include his special theory of relativity, which reconciled mechanics with electromagnetism, and his general theory of relativity which extended the principle of relativity to non-uniform motion, creating a new theory of gravitation. His other contributions include relativistic cosmology, capillary action, critical opalescence, classical problems of statistical mechanics and their application to quantum theory, an explanation of the Brownian movement of molecules, atomic transition probabilities, the quantum theory of a monatomic gas, thermal properties of light with low radiation density (which laid the foundation for the photon theory), a theory of radiation including stimulated emission, the conception of a unified field theory, and the geometrization of physics.

Works by Albert Einstein include more than fifty scientific papers and also non-scientific books. In 1999 Einstein was named Time magazine's "Person of the Century", and a poll of prominent physicists named him the greatest physicist of all time. In popular culture the name "Einstein" has become synonymous with genius.

Wurttemberg, Germany. Little did anyone know that young Albert Einstein, who had various speech difficulties and learned to talk late, would go on to become the most prominent physicist in history and named People magazine's "Man of the Century" in 1999.

In 1905, Einstein published four revolutionary papers in the journal Annalen der Physik, including papers explaining the photoelectric effect and the fundamentals of his special theory of relativity. His work laid the foundation for the field of quantum physics, though he himself had some concerns about the conceptual implications of his own work.

Specifically, Einstein didn't like the fact that quantum physics allows (conceptually at the time, though it has since been demonstrated) that information about a system can be "communicated" instantaneously through quantum entanglement. This violates one of the principles of relativity, which is that no information can travel faster than the speed of light. Einstein's friendly, though heated, debate with colleague Niels Bohr on this issue went on for years, and provided key insights into the developing quantum theory.

In the later years of his life, Einstein focused his work on the attempt to derive a Unified Field Theory (more often called Grand Unified Theory, or GUT, at the time) which would unify the fundamental forces of physics into a single conceptual framework. This attempt was not successful, but it is still the holy grail of physics research, resulting in theories such as string theory, quantum gravity, and loop quantum gravity.

In addition to his work in physics, he also became a prominent figure in popular culture, obtaining a status akin to a modern day rock star. His distinctive appearance may have helped with this, and certainly has made him popular among cartoonists. He wrote a letter to President Franklin Delano Roosevelt in 1939, expressing concern that Germany might be using his own research to develop nuclear weapons. This letter motivated FDR to initiate the Manhattan Project to develop such a weapon for the Allies first.

Einstein later became a vocal supporter of the Zionist movement, although he also expressed concerns about the specifics of the decision to form Israel ... concerns which the continued violence in that region & border dispute shows to have been prescient. He was asked to be Israel's second president, but he chose to decline it.

kloning



On January 8, 2001, scientists at Advanced Cell Tec­hnology, Inc., announced the birth of the first ­clone of an endangered animal, a baby bull gaur (a large wild ox from India and southeast Asia) named Noah. Although Noah died of an infection unrelated to the procedure, the experiment demonstrated that it is possible to save endangered species through cloning.

­

­Cloning is the process of making a geneti- cally identical organism through nonsexual means. It has been used for many years to produce plants (even growing a plant from a cutting is a type of cloning). Animal cloning has been the su­bject of scientific experiments for years, but garnered little attention until the birth of the first cloned mammal in 1997, a sheep named Dolly. Since Dolly, several scientists have cloned other animals, including cows and mice. The recent success in cloning animals has sparked fierce debates among scientists, politicians and the general public about the use and morality of cloning plants, animals and possibly humans.

In this article, we will examine how cloning works and look at possible uses of this technology.


Nature­ has been cloning organisms for billions of years. For example, when a strawberry plant sends out a runner (a form of modified stem), a new plant grows where the runner takes root. That new plant is a clone. Similar cloning occurs in grass, potatoes and onions.

Reproduction
Sexual reproduction involves the merging of two sets of DNA (one from the father's sperm and one from the mother's egg) to produce a new offspring that is genetically different from either parent. Asexual reproduction (without sex) produces offspring that are genetically identical to the single parent organism.

­People have been cloning plants in one way or another for thousands of years. For example, when you take a leaf cutting from a plant and grow it into a new plant (vegetative propagation), you are cloning the original plant because the new plant has the same genetic makeup as the donor plant. Vegetative propagation works because the end of the cutting forms a mass of non-specialized cells called a callus. With luck, the callus will grow, divide and form various specialized cells (roots, stems), eventually forming a new plant.

More recently, scientists have been able to clone plants by taking pieces of specialized roots, breaking them up into root cells and growing the root cells in a nutrient-rich culture. In culture, the specialized cells become unspecialized (dedifferentiated) into calluses. The calluses can then be stimulated with the appropriate plant hormones to grow into new plants that are identical to the original plant from which the root pieces were taken.

Producing Clones: Animal Kingdom

­Plants are not the only organisms that can be cloned naturally. The unfer­tilized eggs of some animals (small invertebrates, worms, some species of fish, lizards and frogs) can develop into full-grown adults under certain environmental conditions -- usually a chemical stimulus of some kind. This process is called parthenogenesis, and the offspring are clones of the females that laid the eggs.

Another example of natural cloning is identical twins. Although they are genetically different from their parents, identical twins are naturally occurring clones of each other.

Scientists have experimented with animal cloning, but have never been able to stimulate a specialized (differentiated) cell to produce a new organism directly. Instead, they rely on transplanting the genetic information from a specialized cell into an unfertilized egg cell whose genetic information has been destroyed or physically removed.

In the 1970s, a scientist named John Gurdon successfully cloned tadpoles. He transplanted the nucleus from a specialized cell of one frog (B) into an unfertilized egg of another frog (A) in which the nucleus had been destroyed by ultraviolet light. The egg with the transplanted nucleus developed into a tadpole that was genetically identical to frog B.

While Gurdon's tadpoles did not survive to grow into adult frogs, his experiment showed that the process of specialization in animal cells was reversible, and his technique of nuclear transfer paved the way for later cloning successes.This procedure, called tissue culture propagation, has been widely used by horticulturists to grow prized orchids and other rare flowers.

­In 1997, cloning was revolutionized when Ian Wilmut and his colleagues at the Roslin­ Institute in Edinburgh, Scotland, successfully cloned a sheep named Dolly. Dolly was the first cloned mammal.

Wilmut and his colleagues transplanted a nucleus from a mammary gland cell of a Finn Dorsett sheep into the enucleated egg of a Scottish blackface ewe. The nucleus-egg combination was stimulated with electricity to fuse the two and to stimulate cell division. The new cell divided and was placed in the uterus of a blackface ewe to develop. Dolly was born months later.

Dolly was shown to be genetically identical to the Finn Dorsett mammary cells and not to the blackface ewe, which clearly demonstrated that she was a successful clone (it took 276 attempts before the experiment was successful). Dolly has since grown and reproduced several offspring of her own through normal sexual means. Therefore, Dolly is a viable, healthy clone.

Since Dolly, several university laboratories and companies have used various modifications of the nuclear transfer technique to produce cloned mammals, including cows, pigs, monkeys, mice and Noah.

­The ­main reason to clone plants or animals is to mass produce organisms with desired qualities, such as a prize-winning orchid or a genetically engineered animal -- for instance, sheep have been engineered to produce human insulin. If you had to rely on sexual reproduction (breeding) alone to mass produce these animals, then you would run the risk of breeding out the desired traits because sexual reproduction reshuffles the genetic deck of cards.

Other reasons for cloning might include replacing lost or deceased family pets and repopulating endangered or even extinct species. Whatever the reasons, the new cloning technologies have sparked many ethical debates among scientists, politicians and the general public. Several governments have considered or enacted legislation to slow down, limit or ban cloning experiments outright. It is clear that cloning will be a part of our lives in the future, but the course of this technology has yet to be determined.