Galileo Galilei adalah nama yang tegak menjulang dalam dalam sejarah ilmu pengetahuan. Albert Einstein menyebutnya sebagai Bapak Fisika Modern, bahkan Sains Modern, sebagaimana yang kita kenal sekarang. Begitu menjulang nama ini, sehingga sejak 18 Oktober 1989 ia melambung melewati atmosfir bumi dan masuk ke keluasan antariksa, menjadi nama yang setingkat dewa-dewa Yunani Purba yang menguasai kosmos: nama Galileo menempel pada pesawat angkasa luar milik NASA yang menjadi penyelidik langsung Planet Yupiter dan satelit-satelitnya.
Hampir 400 tahun yang lalu, Galileo Galilei adalah nama yang miring, bagaikan Menara Pisa. Paling tidak, demikianlah yang terlihat di mata sejumlah pejabat tinggi pada Dinas Suci Inkuisisi Gereja Katolik. Otoritas tertinggi Gereja Katolik bahkan ingin meruntuhkan nama yang miring itu, menghapuskannya dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Semua ini terjadi karena ilmuwan yang juga menulis puisi dan kritik sastra ini menyuarakan sebuah pandangan yang waktu itu dianggap sebagai sebuah kekafiran besar yang akan merusak aqidah ummat: pandangan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta, dan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya.
Pandangan kosmologis “kafir” yang dikenal juga sebagai sistem heliosentris itu, sudah dipikirkan orang lebih dari dua ribu tahun yang silam dan diajukan antara lain oleh Aristarchus dari Samos (kl 310-230 SM). Karena sejumlah hal, khususnya ajaran Aristoteles dan Kitab Suci yang mengunggulkan sistem Geosentris yang dirumuskan Ptolemeus dalam buku terkenalnya, Almagest, sistem heliosentris ini hilang dari dunia pengetahuan manusia. Sistem kosmos yang berpusat surya ini, kita tahu, muncul kembali di Eropa Renaisans lewat pemikiran biarawan Nikolaus Kopernikus (1473-1543). Sistem ini ia sajikan dalam kitab yang ia persembahkan untuk Paus Paulus III, De Revolutionibus Orbium Coelestium (”On the Revolutions of the Celestial Orbs”), yang terbit di Nuremberg pada tahun terakhir kehidupannya, 1543. Kelak pandangan ini dikukuhkan oleh Johannes Kepler (1571-1630) yang mengajukan sejumlah Hukum Gerak dan Orbit benda-benda langit. Galileo mencoba menandaskan kebenaran sistem heliosentris dengan menggunakan teorinya sendiri yang ia anggap lebih kokoh.
Dalam sepucuk surat bertanggal 4 April 1597, Galileo mengaku bahwa sejak beberapa tahun silam ia sudah tahu betapa bumi bergerak mengitari matahari, bahwa sistem Kopernikan “lebih mendekati kenyataan daripada pandangan lain yang dikemukakan Aristoteles dan Ptolomeus.” Teori Heliosentris Kopernikus memberi penjelasan sederhana sekaligus anggun atas gerak-gerak planet yang selama itu membingungkan kaum cerdik cendekia. Sambil menata ulang susunan planet-planet yang sudah dikenal saat itu, sistem heliosentris menawarkan diri sebagai sistem yang lebih masuk akal dibanding dengan sistem tradisional geosentris. Meski demikian, ada beberapa hal yang membuat Kopernikus dan para pendukung teori Heliosentris seperti Galileo menangguhkan opini mereka.
***
Selain menggugat pandangan religius klasik atas posisi manusia di alam semesta yang menganggap bahwa bumi adalah pusat jagat raya, dan Vatikan adalah pusat dunia, sistem heliosentris tampak absurd dilihat dari sudut pandang pengetahuan fisika yang dominan waktu itu. Sistem ini juga menentang pengalaman indrawi manusia yang dengan mata telanjang melihat matahari mengedari bumi dengan terbit di timur dan surut di barat.
Sampai pada persimpangan abad 16 dan 17, para pemikir tumbuh dan terdidik dalam pemikiran Aristotelian, yang dengan tegas membagi ranah langit dan bumi, ranah surgawi dan duniawi. Sejajar dengan pembagian kosmis itu – oposisi biner dimana satu anasir lebih mulia dari anasir lainnya – bertaut dan berkelindanlah oposisi langit dan bumi, surgawi dan duniawi itu, dengan oposisi perfeksi dan korupsi, Kenaikan dan Kejatuhan. Keempat oposisi biner ini secara organis bersatu membentuk sebuah kerangka kosmo-antropologis yang bisa menampung aspirasi religius. Dalam paham fisika Aristoteles juga, benda-benda selalu bergerak menuju tempat mereka yang alami. Batu jatuh karena tempat alami benda-benda berbobot adalah pada pusat alam semesta. Itu pula sebabnya maka bumi yang berat ini ada di tempatnya, yakni di pusat alam semesta itu.
Pandangan dunia fisika Aristotelian ini dengan jelas memberi sebuah bangunan kognitif yang kukuh dan, yang paling penting: sangat mudah dicerna. Selain menautkan ranah langit dan bumi, menyatukan kegiatan ilahiah dan kehidupan manusiawi, bangunan kognitif ini juga memberi tempat yang istimewa dan mantap bagi para penganutnya, sekaligus menyingkirkan kaum yang asing, kaum anti-Vatikan misalnya, dari pusat dunia. Ringkasnya, bangunan kognitif ini tampak berhasil mengorganisasikan banyak kenyataan yang tampak tak berhubungan sekaligus memberi perasaan menyenangkan bagi para penganut dan pendukungnya. Menerima sistem Kopernikan bukan saja berarti menampik fisika Aristoteles dan membuang sistem geosentris Ptolomeus. Itu juga berarti meruntuhkan rasa mantap dan nyaman yang selama ini ada, sekaligus membantah Kitab Suci yang dengan tegas menyebutkan bahwa bumi dipasak di tempatnya. Oh, Tuhanku, Kau-lah yang Maha Besar… Kau pancangkan bumi pada fondasinya, tiada bergerak untuk selamanya. (Mazmur 103: 1,5).
***
Jaman ketika sistem heliosentris mulai menunjukkan kekuatannya adalah jaman ketika Gereja Katolik sedang dirongrong oleh gelombang Reformasi Protestan yang menggugat hak-hak istimewa Gereja yang sangat besar. Selain dilanda oleh Perang 30 Tahun yang merupakan puncak perlawanan kaum Protestan, Eropa juga tengah diharubiru oleh Wabah Hitam, yang konon datang untuk menghukum manusia yang aqidahnya sudah rusak. Wabah ini muncul di abad ke-14, dipicu oleh perubahan iklim yang disebut Jaman Es Kecil. Bermula sebagai sampar yang meletup di Daratan Cina, wabah ini meyebar lewat tikus-tikus yang terbawa kapal-kapal dagang sampai ke Eropa, dan menumpas hampir sepertiga penduduk Eropa hanya dalam waktu 25 tahun.
Sejak ratusan tahun yang silam, ada saja orang-orang yang sangat berkuasa dalam struktur Gereja Katolik yang yakin bahwa karena tanggung jawab mereka sangat besar dalam melindungi dan membimbing ummat, maka mereka harus punya kekuasaan dan hak-hak istimewa yang tak kalah besarnya, yang selalu harus dipertahankan, apapun akibatnya. Kekuasaan mereka yang sangat besar bukan saja terentang dalam upaya untuk mewujudkan Kerajaan Tuhan di Bumi. Kekuasaan itu juga diperlukan dalam menyelamatkan iman manusia yang – menurut sebuah naskah drama yang terkenal di abad 20 – mendapatkan kekuatan dari penampilan pohon-pohon yang menghijau yang menjadi baru setiap tahun, dari paras tanah yang tak ramah dan tak pernah puas, dari gereja kecil dan teks Injil yang mereka dengar di sana di setiap hari minggu.
Pandangan yang menyakini bahwa bumi hanyalah seonggok batu yang terus-menerus berputar dalam ruang hampa, mengitari sebuah bintang mungil kelas dua, memang adalah pandangan yang membuat hidup akan terasa ciut. Kitab Suci akan tampak salah, dan kepastian yang selama ini bisa menopang kehidupan ummat akan luluh lantak dan mereka akan tercerai-berai ketakutan. Pandangan ini bukan saja dianggap akan merongrong dasar keyakinan gereja Katolik dan merampok kebahagiaan iman orang-orang awam yang sederhana itu. Pandangan ini juga diimani akan mendatangkan berbagai bencana kiriman langit yang antara lain terwujud dalam Wabah Hitam yang mengerikan itu.
Setiap ajaran yang menganggu iman manusia dan bisa mendatangkan bencana, tentu harus dihapuskan demi kebaikan manusia sendiri. Mereka yang tidak mau bertobat, harus dibantu dengan disucikan lewat api agar mereka tak lagi menerima siksa neraka.
3 tahun setelah Galileo menuliskan suratnya yang bertanggal 4 April 1597 itu, Giordano Bruno, seorang pastor Ordo Dominikan, dibakar di Roma antara lain karena bersikeras meyakini bahwa bumi bergerak mengitari matahari, bukan diam di tempatnya sebagai pusat semesta, dan bahwa ada banyak planet seperti bumi ini yang bertebaran di alam semesta. Masing-masing pandangan itu ia sampaikan dalam dua buku Cena de le Ceneri (”The Ash Wednesday Supper”) and De l’Infinito, Universo e Mondi (”On the Infinite Universe and Worlds”), keduanya terbit pada 1584.
Penyucian Bruno di atas api unggun yang mengerikan itu, kalaupun punya pengaruh pada Galileo, namun itu menjadi aus dalam kikisan waktu. Pada 1616 ia menulis untuk Kardinal Alessadro Orsini tentang gerak pasang surut pantai yang ia anggap akan membuktikan pergerakan Bumi dan posisi sentral Matahari. Risalah itu membuat Galileo mendapat teguran. Setelah merasa menemukan sejumlah bukti dan teori pendukung yang lebih kokoh, pada 1632, Galileo menerbitkan sebuah buku berjudul Dialogo sopra i due Massimi Sistemi del Mondo (“Dialogue Concerning the Two Chief Systems of the World – Ptolemaic and Copernican”). Buku yang juga bisa disebut novel ide dengan struktur formal yang sangat sederhana itu menghadirkan percakapan antara Salviati yang membela kosmologi Kopernikan, dan Simplicio – seorang filsuf Aristotelian yang mengusung kosmologi Ptolemeian. Klimaks dialog ini adalah pemaparan Salviati bahwa Bumi bergerak mengitari matahari. Pemaparan itu didasarkan teori gerak pasang surut yang sudah ditata Galileo sejak usia 30.
***
Teori pasang surut yang dikira Galileo akan menjadi penopang paling kokoh dari sistem Heliosentrisme, adalah teori yang mengidap sejumlah kesalahan. Penjelasan yang kelak terbukti benar tentang peristiwa pasang surut ini, sebenarnya telah diajukan oleh Kepler pada 1609. Artinya, Dinas Suci Gereja Katolik sesungguhnya punya peluang lebar menyanggah Galileo dengan mengguncang teori pasang surut yang diajukan sendiri oleh penulis Dialog itu. Tetapi, yang dilakukan oleh Dinas Suci yang ngotot dengan makna literal Injil itu, bukanlah dengan tekun dan tabah menggunakan kejernihan nalar, tetapi langsung melompat memakai klaim kekuatan otoritas suci yang tak boleh dibantah. Niat baik Dinas Suci untuk melindungi iman ummat, seperti halnya banyak sekali niat baik dalam sejarah yang dengan tulus hendak membela kepentingan banyak manusia, telah mendorong gereja melakukan kesalahan yang patut disesalkan. Kesalahan yang berusia ratusan tahun itu, memang ditebus kembali oleh Gereja Katolik pada 1992, tiga dekade setelah Konsili Vatikan II, saat lembaga raksasa ini berada di bawah pimpinan Paus Johanes Paulus II.
Pandangan kosmologis “kafir” yang dikenal juga sebagai sistem heliosentris itu, sudah dipikirkan orang lebih dari dua ribu tahun yang silam dan diajukan antara lain oleh Aristarchus dari Samos (kl 310-230 SM). Karena sejumlah hal, khususnya ajaran Aristoteles dan Kitab Suci yang mengunggulkan sistem Geosentris yang dirumuskan Ptolemeus dalam buku terkenalnya, Almagest, sistem heliosentris ini hilang dari dunia pengetahuan manusia. Sistem kosmos yang berpusat surya ini, kita tahu, muncul kembali di Eropa Renaisans lewat pemikiran biarawan Nikolaus Kopernikus (1473-1543). Sistem ini ia sajikan dalam kitab yang ia persembahkan untuk Paus Paulus III, De Revolutionibus Orbium Coelestium (”On the Revolutions of the Celestial Orbs”), yang terbit di Nuremberg pada tahun terakhir kehidupannya, 1543. Kelak pandangan ini dikukuhkan oleh Johannes Kepler (1571-1630) yang mengajukan sejumlah Hukum Gerak dan Orbit benda-benda langit. Galileo mencoba menandaskan kebenaran sistem heliosentris dengan menggunakan teorinya sendiri yang ia anggap lebih kokoh.
Dalam sepucuk surat bertanggal 4 April 1597, Galileo mengaku bahwa sejak beberapa tahun silam ia sudah tahu betapa bumi bergerak mengitari matahari, bahwa sistem Kopernikan “lebih mendekati kenyataan daripada pandangan lain yang dikemukakan Aristoteles dan Ptolomeus.” Teori Heliosentris Kopernikus memberi penjelasan sederhana sekaligus anggun atas gerak-gerak planet yang selama itu membingungkan kaum cerdik cendekia. Sambil menata ulang susunan planet-planet yang sudah dikenal saat itu, sistem heliosentris menawarkan diri sebagai sistem yang lebih masuk akal dibanding dengan sistem tradisional geosentris. Meski demikian, ada beberapa hal yang membuat Kopernikus dan para pendukung teori Heliosentris seperti Galileo menangguhkan opini mereka.
***
Selain menggugat pandangan religius klasik atas posisi manusia di alam semesta yang menganggap bahwa bumi adalah pusat jagat raya, dan Vatikan adalah pusat dunia, sistem heliosentris tampak absurd dilihat dari sudut pandang pengetahuan fisika yang dominan waktu itu. Sistem ini juga menentang pengalaman indrawi manusia yang dengan mata telanjang melihat matahari mengedari bumi dengan terbit di timur dan surut di barat.
Sampai pada persimpangan abad 16 dan 17, para pemikir tumbuh dan terdidik dalam pemikiran Aristotelian, yang dengan tegas membagi ranah langit dan bumi, ranah surgawi dan duniawi. Sejajar dengan pembagian kosmis itu – oposisi biner dimana satu anasir lebih mulia dari anasir lainnya – bertaut dan berkelindanlah oposisi langit dan bumi, surgawi dan duniawi itu, dengan oposisi perfeksi dan korupsi, Kenaikan dan Kejatuhan. Keempat oposisi biner ini secara organis bersatu membentuk sebuah kerangka kosmo-antropologis yang bisa menampung aspirasi religius. Dalam paham fisika Aristoteles juga, benda-benda selalu bergerak menuju tempat mereka yang alami. Batu jatuh karena tempat alami benda-benda berbobot adalah pada pusat alam semesta. Itu pula sebabnya maka bumi yang berat ini ada di tempatnya, yakni di pusat alam semesta itu.
Pandangan dunia fisika Aristotelian ini dengan jelas memberi sebuah bangunan kognitif yang kukuh dan, yang paling penting: sangat mudah dicerna. Selain menautkan ranah langit dan bumi, menyatukan kegiatan ilahiah dan kehidupan manusiawi, bangunan kognitif ini juga memberi tempat yang istimewa dan mantap bagi para penganutnya, sekaligus menyingkirkan kaum yang asing, kaum anti-Vatikan misalnya, dari pusat dunia. Ringkasnya, bangunan kognitif ini tampak berhasil mengorganisasikan banyak kenyataan yang tampak tak berhubungan sekaligus memberi perasaan menyenangkan bagi para penganut dan pendukungnya. Menerima sistem Kopernikan bukan saja berarti menampik fisika Aristoteles dan membuang sistem geosentris Ptolomeus. Itu juga berarti meruntuhkan rasa mantap dan nyaman yang selama ini ada, sekaligus membantah Kitab Suci yang dengan tegas menyebutkan bahwa bumi dipasak di tempatnya. Oh, Tuhanku, Kau-lah yang Maha Besar… Kau pancangkan bumi pada fondasinya, tiada bergerak untuk selamanya. (Mazmur 103: 1,5).
***
Jaman ketika sistem heliosentris mulai menunjukkan kekuatannya adalah jaman ketika Gereja Katolik sedang dirongrong oleh gelombang Reformasi Protestan yang menggugat hak-hak istimewa Gereja yang sangat besar. Selain dilanda oleh Perang 30 Tahun yang merupakan puncak perlawanan kaum Protestan, Eropa juga tengah diharubiru oleh Wabah Hitam, yang konon datang untuk menghukum manusia yang aqidahnya sudah rusak. Wabah ini muncul di abad ke-14, dipicu oleh perubahan iklim yang disebut Jaman Es Kecil. Bermula sebagai sampar yang meletup di Daratan Cina, wabah ini meyebar lewat tikus-tikus yang terbawa kapal-kapal dagang sampai ke Eropa, dan menumpas hampir sepertiga penduduk Eropa hanya dalam waktu 25 tahun.
Sejak ratusan tahun yang silam, ada saja orang-orang yang sangat berkuasa dalam struktur Gereja Katolik yang yakin bahwa karena tanggung jawab mereka sangat besar dalam melindungi dan membimbing ummat, maka mereka harus punya kekuasaan dan hak-hak istimewa yang tak kalah besarnya, yang selalu harus dipertahankan, apapun akibatnya. Kekuasaan mereka yang sangat besar bukan saja terentang dalam upaya untuk mewujudkan Kerajaan Tuhan di Bumi. Kekuasaan itu juga diperlukan dalam menyelamatkan iman manusia yang – menurut sebuah naskah drama yang terkenal di abad 20 – mendapatkan kekuatan dari penampilan pohon-pohon yang menghijau yang menjadi baru setiap tahun, dari paras tanah yang tak ramah dan tak pernah puas, dari gereja kecil dan teks Injil yang mereka dengar di sana di setiap hari minggu.
Pandangan yang menyakini bahwa bumi hanyalah seonggok batu yang terus-menerus berputar dalam ruang hampa, mengitari sebuah bintang mungil kelas dua, memang adalah pandangan yang membuat hidup akan terasa ciut. Kitab Suci akan tampak salah, dan kepastian yang selama ini bisa menopang kehidupan ummat akan luluh lantak dan mereka akan tercerai-berai ketakutan. Pandangan ini bukan saja dianggap akan merongrong dasar keyakinan gereja Katolik dan merampok kebahagiaan iman orang-orang awam yang sederhana itu. Pandangan ini juga diimani akan mendatangkan berbagai bencana kiriman langit yang antara lain terwujud dalam Wabah Hitam yang mengerikan itu.
Setiap ajaran yang menganggu iman manusia dan bisa mendatangkan bencana, tentu harus dihapuskan demi kebaikan manusia sendiri. Mereka yang tidak mau bertobat, harus dibantu dengan disucikan lewat api agar mereka tak lagi menerima siksa neraka.
3 tahun setelah Galileo menuliskan suratnya yang bertanggal 4 April 1597 itu, Giordano Bruno, seorang pastor Ordo Dominikan, dibakar di Roma antara lain karena bersikeras meyakini bahwa bumi bergerak mengitari matahari, bukan diam di tempatnya sebagai pusat semesta, dan bahwa ada banyak planet seperti bumi ini yang bertebaran di alam semesta. Masing-masing pandangan itu ia sampaikan dalam dua buku Cena de le Ceneri (”The Ash Wednesday Supper”) and De l’Infinito, Universo e Mondi (”On the Infinite Universe and Worlds”), keduanya terbit pada 1584.
Penyucian Bruno di atas api unggun yang mengerikan itu, kalaupun punya pengaruh pada Galileo, namun itu menjadi aus dalam kikisan waktu. Pada 1616 ia menulis untuk Kardinal Alessadro Orsini tentang gerak pasang surut pantai yang ia anggap akan membuktikan pergerakan Bumi dan posisi sentral Matahari. Risalah itu membuat Galileo mendapat teguran. Setelah merasa menemukan sejumlah bukti dan teori pendukung yang lebih kokoh, pada 1632, Galileo menerbitkan sebuah buku berjudul Dialogo sopra i due Massimi Sistemi del Mondo (“Dialogue Concerning the Two Chief Systems of the World – Ptolemaic and Copernican”). Buku yang juga bisa disebut novel ide dengan struktur formal yang sangat sederhana itu menghadirkan percakapan antara Salviati yang membela kosmologi Kopernikan, dan Simplicio – seorang filsuf Aristotelian yang mengusung kosmologi Ptolemeian. Klimaks dialog ini adalah pemaparan Salviati bahwa Bumi bergerak mengitari matahari. Pemaparan itu didasarkan teori gerak pasang surut yang sudah ditata Galileo sejak usia 30.
***
Teori pasang surut yang dikira Galileo akan menjadi penopang paling kokoh dari sistem Heliosentrisme, adalah teori yang mengidap sejumlah kesalahan. Penjelasan yang kelak terbukti benar tentang peristiwa pasang surut ini, sebenarnya telah diajukan oleh Kepler pada 1609. Artinya, Dinas Suci Gereja Katolik sesungguhnya punya peluang lebar menyanggah Galileo dengan mengguncang teori pasang surut yang diajukan sendiri oleh penulis Dialog itu. Tetapi, yang dilakukan oleh Dinas Suci yang ngotot dengan makna literal Injil itu, bukanlah dengan tekun dan tabah menggunakan kejernihan nalar, tetapi langsung melompat memakai klaim kekuatan otoritas suci yang tak boleh dibantah. Niat baik Dinas Suci untuk melindungi iman ummat, seperti halnya banyak sekali niat baik dalam sejarah yang dengan tulus hendak membela kepentingan banyak manusia, telah mendorong gereja melakukan kesalahan yang patut disesalkan. Kesalahan yang berusia ratusan tahun itu, memang ditebus kembali oleh Gereja Katolik pada 1992, tiga dekade setelah Konsili Vatikan II, saat lembaga raksasa ini berada di bawah pimpinan Paus Johanes Paulus II.
0 komentar:
Posting Komentar